Lolongan Terakhir di Hutan Kelam
Chapter 4 : Denting Cangkir Kopi di Balai Desa
Balai desa yang biasanya sepi pada siang hari kini dipenuhi oleh gemuruh suara puluhan warga. Bau keringat bercampur dengan asap rokok kretek menyelimuti ruangan berloteng kayu itu. Kepala Desa, Pak Rudi, mengetuk-ngetuk cangkir aluminium kosongnya dengan sendok hingga berbunyi nyaring—dentang-dentang yang justru membuat suasana semakin mencekam. Di sudut ruangan, seekor cicak besar terjatuh dari langit-langit dan mati seketika di lantai, tapi tak seorang pun berani menyentuhnya.
'Saudara-saudara, kita tak bisa terus begini,' suaranya pecah. Keringat mengalir di pelipisnya meski angin malam masuk melalui celah-celah dinding bambu. Di luar, pepohonan di hutan seberang desa bergoyang-goyang meski tak ada angin, seperti ada ribuan tangan yang mengguncang batangnya. 'Sejak kemarin, sudah tujuh kambing dan dua anak sapi yang jadi korban. Belum lagi...'
Kalimatnya terpotong oleh derit panjang dari loteng kayu di atas kami. Semua mata menengok ke atas. Wati, yang duduk di barisan depan, tiba-tiba menjerit kecil. Dari celah-celah papan loteng, tetesan cairan kental berwarna hitam merembes pelan, membentuk pola seperti jari-jari laba-laba di lantai. Bau anyir menusuk hidung—campuran darah busuk dan tanah kuburan.
Mbah Suroto, tetua desa yang selama ini diam, tiba-tiba berdir dengan tongkat kayunya bergetar. 'Dia sedang menunjukkan bahwa kita diawasi. Pertanda buruk ini harus dijawab dengan persembahan.' Suaranya parau seperti gesekan daun kering. Di luar, suara gemerisik aneh mulai terdengar, seperti ribuan jerami digesekkan di tanah.
Perdebatan pun meletus. Kelompok pemuda ingin mengadakan patroli bersenjata, sementara kaum wanita menjerit-jerit minta anak-anak segera dievakuasi. Pak Dul, pedagang daging yang badannya penuh tato jawa kuno, tiba-tiba menggebrak meja hingga cangkir-cangkir berjatuhan. 'Ini semua gara-gara mereka membuka lahan di bukit keramat!' hardiknya menunjuk arah keluarga Karto yang pucat pasi. 'Sudah kubilang jangan ganggu tempat persemayaman Eyang Jangga!'
Tiba-tiba, semua lampu minyak di ruangan itu padam secara bersamaan. Dalam kegelapan, suara nafas berat bergema dari sudut ruangan—bukan berasal dari manusia manapun. Bau belerang menyengat memenuhi udara. Ketika lampu kembali menyala, semua yang hadir tercekat: di tengah-tengah ruangan, terdapat jejak-jejak lumpur berbentuk cakar yang mengering, mengelilingi tempat duduk keluarga Karto seperti bentuk lingkaran setan.
Dari kejauhan, suara genderang perang suku Sunda kuno tiba-tiba bergema dari dalam hutan—padahal tak seorang pun di desa yang bisa memainkannya. Mbah Suroto jatuh terduduk, mukanya lebih pucat dari mayat. 'Dia mau memilih...' bisiknya sambil tangannya gemetar menunjuk ke arah anak tertua keluarga Karto, seorang remaja 16 tahun bernama Joko yang kini menggigil ketakutan.
Sebelum rapat ditutup dengan kepanikan, di luar jendela, semua orang melihat siluet tinggi berjalan melintasi lapangan—badannya terlalu kurus untuk manusia, kepalanya menjulang seperti tanduk rusa, dan langkahnya tak bersuara sedikitpun. Di tempat siluet itu melintas, rumput-rumput kering tiba-tiba mekar kembali sebelum menjadi hitam dan mati seketika.
Malam itu, tak ada yang berani pulang sendirian. Mereka berjalan berkelompok dengan obor, sementara dari dalam hutan, suara-suara aneh terus menyertainya: desisan, gemerisik jerami, dan kadang—yang paling membuat bulu kuduk berdiri—suara tertawa kecil seperti anak-anak yang bergema dari pepohonan.

Si Bodoh yang Jenius
Jojo, cowok pintar yang sombong, awalnya menertawakan Maria, siswi baru cantik keturunan Chinese yang bodoh dalam pelajaran. Namun setelah dipasangkan untuk belajar bersama, Jojo perlahan kagum dengan kerja keras Maria. Maria yang dulunya selalu gagal, kini semakin berkembang berkat bimbingan Jojo. Senyuman dan semangat Maria membuat hati Jojo goyah. Semakin lama, Maria tidak hanya belajar dengan baik, tapi juga menanjak pesat hingga membuat Jojo terancam. Dari hubungan guru–murid kecil-kecilan, hubungan mereka berkembang menjadi persahabatan hangat yang penuh ketegangan batin karena persaingan.
read more
Lolongan Terakhir di Hutan Kelam
Di sebuah desa terpencil dekat hutan, serangkaian kematian brutal terjadi. Hewan ternak dan manusia ditemukan tewas dengan tubuh tercabik. Arman, seorang pemuda desa, mulai menemukan bahwa keluarganya terikat kutukan manusia serigala. Saat ayahnya berubah menjadi monster, rahasia kelam keluarga terkuak. Arman harus melawan bukan hanya ayahnya, tapi juga roh serigala purba yang berusaha mengambil alih tubuhnya. Dengan pisau bulan, ia berusaha menghentikan kutukan, namun setiap langkah justru menyeretnya semakin dalam ke dalam kegelapan.
read more
Sehabis Mencintai, Aku Belajar Melepaskan
Kisah Rania bermula dari cinta yang begitu dalam, namun meninggalkan luka yang menghancurkan. Ia berusaha bangkit di tengah kebingungan, dihadapkan pada pilihan antara Adi—cinta lama yang kembali meminta kesempatan—dan Damar, sahabat yang tulus namun diam-diam mencintainya. Di perjalanan, Rania menemukan bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan pada kenangan, tapi juga berani membuka pintu baru. Apakah Rania akan memilih cinta yang pernah menyakitinya, atau cinta baru yang penuh ketenangan?
read more
Primadona Mengejar Pecundang
Dita, primadona dan peringkat pertama SMA Permata Kasih, awalnya menganggap Zeno sebagai siswa bodoh tak berguna. Namun saat melihat keteguhan dan potensi tersembunyi Zeno, ia justru berbalik jatuh hati dan bertekad membimbingnya. Tak disangka, Zeno bukan hanya menyusulnya, tapi mengalahkannya—baik dalam pelajaran, maupun dalam permainan perasaan......
read more
Bukan Untuk Kita Bertiga
Rani, Dira, dan Aldo bersahabat sejak kuliah. Namun semuanya mulai berubah saat Rani diam-diam jatuh cinta pada Aldo, yang ternyata memiliki perasaan pada Dira. Dira, yang menyadari hal itu, mencoba menjauh demi menjaga persahabatan mereka, tapi justru menyebabkan konflik batin yang lebih besar. Kisah ini menggambarkan cinta yang tidak bisa dimiliki tanpa menghancurkan sesuatu yang lain.
read more
Bukan Gamon
Vira baru saja putus dari Hamdan dan merasa dunia runtuh. Ia gagal move on, hingga Hadnyan—teman mantan yang dikenal cuek dan introvert—tiba-tiba muncul dalam hidupnya. Sifat Hadnyan yang suka jahil tapi tidak pernah benar-benar hadir membuat Vira bimbang: nyaman, tapi terluka. Siklus hadir-menghilang Hadnyan membuat Vira kelelahan secara emosional, hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi. Namun, Hadnyan yang selama ini diam mulai berubah. Perasaan mulai jujur disampaikan, luka mulai diobati.
read more